Hutan sagu tersebar lebih-lebih di kawasan Indonesia, Malaysia dan Philipina dengan Indonesia lebih-lebih Papua sebagai pemilik hutan sagu terbesarnya dengan luas hutan mencapai 1,2 juta hektar atau nyaris 50% berasal dari luasan dunia. Walaupun telah jadi dibuat perkebunan sagu tetapi sebagian besar masih berbentuk hutan-hutan. Pada tempat yang telah mengakibatkan perkebunan sagu, pengolahan product sagu yang dihasilkan termasuk lebih baik. Sagu miliki peran benar-benar mutlak dalam ketahanan pangan, lebih-lebih daerah-daerah seperti Maluku dan Papua.
Daerah-daerah berikut termasuk telah turun menurun makan sagu sebagai makanan pokoknya. Ketahanan pangan menurut UU No 7 tahun 1996 dan PP 68 tahun 2002 adalah keadaan terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin berasal dari ketersediaan pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Selain itu pohon sagu termasuk miliki fungsi lingkungan seperti mencegah erosi, penyerapan air dan penghijauan.
Konversi pangan berasal dari sagu ke beras dapat mendorong konversi hutan sagu ke persawahan dan itu bermakna termasuk menghalau fungsi lingkungan berasal dari hutan sagu. Hilangnya fungsi lingkungan berasal dari hutan sagu termasuk bermakna mengakibatkan potensi bencana alam.
Seharusnya tidak wajib untuk konversi pangan berasal dari sagu ke beras untuk daerah-daerah berikut tetapi justru mengembangkan dan melestarikan potensi pohon sagu di daerah-daerah berikut dan bahkan benar-benar dimungkinkan sebagai komoditas export.
Berdasarkan sejumlah analisa bahwa pemanfaatan sagu berasal dari wilayah setempat dapat bisa swasembada pangan di tempat tersebut, misalnya di Maluku dan Papua.
Pemanfaatan sagu lebih-lebih untuk memproses karbohidrat sebagai bahan pangan pokok.
Pati sagu disita berasal dari bagian batang sagu yang diekstrak agar terpisah pati sagu dan ampasnya. Pada sejumlah tempat proses mengekstrak pati sagu masih benar-benar sederhana, yaitu batang sagu disita bagian yang kaya sagunya, dikecilkan ukurannya misalnya dengan diparut lantas dicampur air lantas diremas-remas dengan tangan dan didapat pati sagu berasal dari pengendapan hasil perasan tersebut.
Dengan dukungan alat mekanik proses ekstraksi berikut bisa lebih mudah dan cepat. Proses memproses sagu menghasilkan sejumlah limbah biomasa yang sebetulnya termasuk miliki potensi ekonomi. Limbah kulit batang sagu dan ampas sagu adalah bahan potensial untuk memproses Sawdust Charcoal. Saat ini sebagian besar limbah berikut masih belum dimanfaatkan dan cuma mencemari lingkungan.Proses memproses sawdust charcoal briquette berasal dari limbah sagu berikut termasuk nyaris serupa dengan memproses sawdust charcoal briquette berasal dari bahan baku limbah-limbah kayu terhadap umumnya.
Kulit batang sagu wajib dikecilkan ukurannya (size reduction) seukuran serbuk gergaji sedang untuk ampas tebu tidak wajib dikarenakan ukuran partikelnya telah relatif kecil. Tahap setelah itu adalah pengeringan dengan alat pengering dan yang paling banyak digunakan sementara ini yaitu rotary (drum) dryer. Setelah material telah lumayan kering setelah itu disimpan sementara setelah itu diumpankan ke mesin briket (screw extruder) dan dihasilkan sawdust briquette.
Pada langkah ini tahapan proses produksinya benar-benar serupa dengan memproses wood pellet, bedanya untuk memproses sawdust briquette pakai screw extruder, sedang untuk wood pellet dengan pelletiser. Untuk jadi sawdust charcoal briquette langkah setelah itu yaitu sawdust briquette setelah itu diarangkan dalam tungku pengarangan (karbonisasi) yang memakan sementara lebih kurang 10 hari.
Mengapa tidak memproses wood pellet saja? Pertanyaan lumrah dan masuk akal. Walaupun limbah sagu berikut bisa digunakan untuk memproses wood pellet, tetapi kandungan klorin yang lumayan tinggi membuatnya tidak cukup bisa diterima, lebih-lebih untuk pasar export yang end usernya adalah pembangkit listrik. Apabila wood pellet berasal dari limbah sagu bertujuan untuk pasar dalam negeri untuk pemanfaatan terhadap sejumlah UKM termasuk tidak masalah.
Sementara keterserapan pasar dalam negeri yang masih kecil, maka sebagian produsen wood pellet masih prioritas untuk pasar export dengan syarat-syarat spesifikasi teknis lumayan ketat. Berdasarkan keadaan berikut memproses sawdust charcoal briquette lebih jadi pilihan, dan disamping itu peralatan memproses sawdust charcoal briquette nyaris 100% telah bisa dibuat di dalam negeri.